Jakarta - Setelah adanya putusan mahkamah konstitusi nomor MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan norma undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum Pasal 169 huruf q, yang sebelumnya mengatur batas usia calon presiden dan calon wakil presiden 40 (empat puluh) tahun menjadi: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah”. Putusan mahkamah konstitusi tersebut bersifat final and banding dan pada saat ini yang kemudian menjadi peluang/pintu masuk Gibran untuk mengikuti kontestasi menjadi wakil presiden mendampingi Calon Presiden Prabowo Subianto pada pemilu 2024.
Hal tersebut sempat dikomentari oleh Menkopolhukan Prof. Mahfud MD di media Kompas pada tanggal 8 november 2023 yang menyatakan “Keputusan MK terkait syarat minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah mengikat”.
Keputusan Mahkamah Konstitusi itu memang benar mengikat, namun publik perlu tahu bahwa yang dieksekusi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi itu adalah Undang - Undang, bukan seluruh peraturan perundang-undangan dan wajib ada pihak pelaksana/eksekutor putusan.
Semua itu sesungguhnya telah diatur pada undang-undang nomor 12 tahun 2011 pada pasal 10 ayat (2) menyebutkan: “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden”, diperjelas pula dalam penjelasanya bahwa: “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum”.
Berdasarkan pengaturan undang-undang nomor 12 tahun 2011 pasal 10 ayat (2) tersebut sangat jelas mengatur bahwa setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakibatkan adanya Perubahan Norma pada suatu Undang - Undang maka DPR atau Presiden lah yang berwenang melaksanakan perubahan pada Undang - Undang dan pada pasal penjelas telah tegas mengatakan bahwa perintah terhadap DPR dan Presiden bertujuan untuk menghindari kekosongan hukum, artinya setelah putusan mahkamah konstitusi dibacakan maka pasal yang diputus itu mengakibatkan Vacuum of Norm (Kekosongan Norma), hukumnya kosong karena kehilangan norma sebelumnya akibat digantikan dengan norma baru berdasarkan putusan, sehingga pembentukan pasal baru berdasarkan norma baru sesuai putusan itu menunggu dibentuk oleh DPR atau Presiden tanpa melalui Prolegnas karena bersifat mendesak.
Pengaturan Pasal 10 ayat (2) UU no 12 tahun 2011 tersebut sekaligus membantah pendapat yang disampaikan oleh Prof Yusril pada media CNN pada tanggal 24 Desember 2023 yang menyebutkan “Dengan adanya putusan MK tersebut maka norma pasal 169 huruf q UU no 7 tahun 2017 tentang pemilu berubah saat itu juga tanpa harus menunggu DPR atau Presiden merubahnya”.
Pendapat Prof Yusril ini tentu merupakan logical fallacy (kesesatan berfikir) yang dapat menyesatkan masyarakat atas pemahaman hukum terhadap persoalan ini.
Sehingga perbuatan hukum KPU dalam melakukan penerimaan pendaftaran pasangan calon Prabowo dan Gibran pada tanggal 25 oktober 2023 dan menyatakan hasil verifikasi syarat lengkap dan benar tanpa merubah PKPU no 19 tahun 2023 yang masih mensyaratkan usia 40 tahun saja, karena cukup mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan perbuatan melawan hukum dan Abuse of Power (penyalahgunaan wewenang) karena bertentangan dengan pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan bahwa lembaga negara yang wajib melaksanakan putusan MK adalah DPR atau presiden, bukan KPU.
Kenyataan ini merupakan bukti yang sangat jelas bahwa memang ada perbuatan kesengajaan yang tersistematis dalam upaya melakukan penyelundupan hukum pada proses tahapan pemilu 2024. Maka dari itu banyak sekali gugatan oleh banyak pihak melalui pengadilan negeri, PTUN, MK dan DKPP dampak diloloskanya pasangan calon Prabowo-Gibran karena memang posisi hukum dalam proses tahapan pendaftarannya mengalami kecacatan hukum dan sangat berpotensi dapat dibatalkan oleh pengadilan yang sedang mempersidangkan perkara tersebut.
Oleh: Dr. Demas Brian W. S.H., M.H.
Direktur PRESISI (Penstudi Reformasi Untuk Demokrasi Dan Antikorupsi)